“Barusan diaspal kok sudah berlubang
lagi ?”, sebuah pertanyaan mendasar yang sering terlontar dari pengguna jalan,
termasuk kita sendiri. Ya, memang di Indonesia yang namanya jalan sudah pasti
tidak berumur panjang. Karena memang demikian adanya, jalan yang baru diaspal
ulang sudah bisa dipastikan akan rusak dalam waktu cepat. Bisa 1 tahun, 2
tahun, bahkan dalam hitungan bulan sudah rusak.
Sebuah permasalahan yang selalu
terjadi dan seolah-olah tidak ada solusinya. Apakah pemerintah berpangku tangan
? Kita tidak bisa bilang ya atau tidak. Oleh karena itu, perlu kita cermati dan
pahami lebih lanjut, apa yang menjadi permasalahan pokok tentang umur jalan di
Indonesia.
Ada 3 (tiga) permasalahan utama jalan
raya di Indonesia, antara lain :
a. Beban kendaraan yang berlebih.
Sering
kita lihat, truk dengan beban yang berlebih melintas di jalan raya. Tidak sulit
untuk menilai truk kelebihan beban atau tidak. Bisa dilihat dari caranya
berjalan, dan tinggi muatannya. Truk dengan dimensi bak (panjang x lebar x
tinggi) 5 x 2.5 x 0.8 m, kemudian diisi penuh, pada rit pertama mengangkut
kapuk, dan pada rit kedua mengangkut batu bata, walaupun sama-sama penuh tetapi
bebannya beda jelas memberikan pengaruh yang berbeda.
Salah
satu poin dari ilustrasi di atas adalah, para pengusaha masih belum
memperhatikan tingkat keselamatan, tetapi walau bagaimanapun juga kita harus
maklum, karena biaya “bertransportasi” di Indonesia masih tergolong tinggi,
salah satu penyebabnya adalah aksesibilitas antar kota di Indonesia yang sangat
minim.
Jadi
tidak heran bila truk membawa beban hingga 30% lebih banyak dari yang
seharusnya/diijinkan (rizkiardi,2007). Misalkan biaya 1 rit Rp. 500.000,-,
sedangkan kapasitas truk adalah 1 ton dan barang yang harus diangkut adalah 1.3
ton. Maka si pemilik barang jelas akan mengirim barangnya langsung sebanyak 1.3
ton dalam 1 rit. Jika si supir minta tambahan karena kelebihan beban,
katakanlah Rp. 200.000,- sehingga total biaya angkut Rp. 700.000,-. Pemilik
barang masih berhemat Rp. 300.000,-, bila dibandingkan harus 2 Rit dengan total
biaya Rp. 1.000.000,-. Dan dalam 1 waktu barang sudah terkirim semua.
b. Mutu material konstruksi jalan yang
kurang baik.
Tidak
semua wilayah di Indonesia memiliki tambang material dengan mutu baik. Sebagai
contoh, di Propinsi Jawa Timur, material agregat yang terkenal memiliki mutu
baik adalah Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Lumajang. Lantas bagaimana dengan
daerah lain ? Misalkan di daerah Kabupaten Bojonegoro dan 4 Kabupaten di Pulau
Madura yang nota bene material agregat yang tersedia adalah material agregat
berbatu kapur ?
Bila
mendatangkan material dari (misalkan) Kab. Mojokerto maka akan ada biaya
tambahan, minimal biaya angkut ke (misalkan) Kab. Mojokerto, dan berapa rit
truk yang dibutuhkan. Akibatnya terjadi pembengkakan biaya pelaksanaan proyek
jalan. Sehingga untuk menekan biaya agar bisa melaksanaan pekerjaan dengan
panjang jalan semaksimal mungkin, digunakan material setempat, walaupun
agregatnya dibuat bergradasi sama dengan agregat yang mutunya baik, tetap saja
ada perbedaan yang signifikan dari mutu jalan yang dihasilkan.
c. Peraturan pengadaan barang/jasa di
Indonesia.
Waktu
untuk proses pengadaan barang atau jasa di lingkungan pemerintah menjadi
kendala tersendiri dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Karena waktu
untuk bekerja panitia lelang berdasarkan hari kerja, bukan berdasarkan hari
kalender. Sehingga waktu untuk pelaksanaan lelang/tender bisa lebih panjang.
Selain itu proses mulai dari penyusunan anggaran hingga start pelaksanaan fisik
bisa memakan waktu hingga 1 (satu) tahun. Untuk ilustrasi pengadaan bisa
dilihat pada Gambar 1.6.1 halaman berikut.
Ambil
contoh pada Tahun 2012 – 2013. Mulai bulan September 2012 hingga Desember 2012 instansi
di seluruh Indonesia sudah mulai membuat draft anggaran Tahun 2013. Untuk
pelaksanaan proyek jalan raya, instansi yang berwenang adalah Dinas Bina Marga
(BM). Dalam penyusunan draft APBD/N tentunya harus melakukan survey agar bisa
menghitung kebutuhan proyek untuk tahun anggaran bertikutnya. Draft APBD/N
kemudian dibawa ke sidang paripurna DPR/DPRD mulai bulan November 2012 untuk
dibahas, dan akhirnya harus disahkan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember
2012. Kemudian pada bulan Januari s.d Februari 2013 adalah masa pembentukan
panitia lelang/tender hingga pengesahannya. Mulai Februari s.d pertengahan
April 2013 adalah masa lelang/tender untuk Konsultan Perencana.
Dan
pelaksanaan pekerjaan perencanaan untuk pembuatan DED (Detail Engineering
Design) hingga pertengahan Juni 2013. Dilanjutkan dengan proses lelang/tender
untuk Konsultan Pengawas dan Kontraktor Pelaksana sampai dengan pertengahan
Agustus 2013. Pertengahan Agustus s.d selambat-lambatnya minggu ke-3 Desember
2013 adalah pelaksanaan fisik proyek. Dan sisanya adalah masa pencairan termyn.
Lantas,
masalahnya di mana ? Masalahnya adalah mulai proses penyusunan draft APBD/N
hingga pelaksanaan pekerjaan fisik yang memakan waktu hampir setahun (dari
bulan September 2012 hingga pertengahan Agustus 2013).
Berbeda
dengan proyek bangunan gedung, untuk proyek jalan raya tidak bisa menunggu
waktu selama itu. Misalkan pada saat survey awal diperoleh kebutuhan untuk
proyek jalan raya sebesar Rp. 1 Milyar dengan kondisi 10% ruas jalan berlubang.
Kemudian pada saat survey untuk penyusunan DED jumlah lubang sudah bertambah
10% lagi, maka dana membengkak menjadi Rp. 1.1 Milyar. Tetapi pada saat
pengukutan lapangan untuk pelaksanaan proyek fisik, jumlah lubang bertambah
lagi 10%, sehingga dana yang dibutuhkan total sebesar Rp. 1.2 Milyar. Ada
mekanisme untuk penambahan dana, yaitu melalui mekanisme addendum, tetapi
penambahan dana melalui mekanisme tersebut hanya 10% dari anggaran yang
disahkan oleh DPR/DPRD, sehingga hanya diperoleh tambahan maksimum sebesar Rp. 1
Milyar x 10% = Rp. 100 Juta. Sehingga maksimum anggaran yang tersedia adalah
sebesar Rp. 1.1 Milyar. Terus, bagaimana kekurangan yang Rp. 100 Juta ? Mau
tidak mau harus mengurangi spesifikasi material atau volume pekerjaan sebesar
Rp. 100 Juta agar dengan nilai Rp. 1.1 Milyar pekerjaan bisa tuntas. Inilah
pokok permasalahan yang terjadi pada proyek infrastruktur di Indonesia. Karena
sistem penganggaran yang hanya berlaku selama tahun anggaran. Memang ada sistem
penganggaran tahun jamak. Tetapi itu masih selalu menimbulkan permasalahan,
terutama masalah korupsi. Sehingga tidak banyak instansi di pemerintah yang
berani melaksanakan proyek dengan anggaran tahun jamak.
Selain
itu, untuk penyelenggaran pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah hanya
berada dalam satu payung hukum, yang terbaru adalah Peraturan Pemerintah Nomor
70 Tahun 2012, dan itu berlaku untuk semua jenis proyek. Lain halnya pengadaan
barang/jasa akibat bencana, untuk masalah itu memiliki payung hukum yang
berbeda.
Proyek
infrastruktur tidak bisa disamakan dengan proyek-proyek yang lainnya. Perlu ada
payung hukum sendiri yang mengatur pelaksanaan proyek menjadi lebih singkat.
Kemudian masalah pembiayaan proyek, tidak perlu diberlakukan dalam sistem tahun
anggaran, artinya bisa dibayarkan kapan saja. Tujuannya agar proyek bisa
dilaksanakan lebih cepat, mengingat semakin lama jalan rusak dibiarkan, maka
tingkat kerusakannya akan semakin tinggi, dan akan semakin merugikan pengguna
jalan.
Diolah dari berbagai sumber.